Haditshadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh me-nguburkan mayat di dalam masjid. [9] 2. Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan. [10] Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya:Setiap disebutkan kata kuburan, umumnya yang terlintas dalam benak pikiran adalah rasa takut, khawatir, dan cemas. Perasaan inilah yang oleh sebagian kalangan ingin ditepis dan dihilangkan dengan cara membuat kuburan tampak terlihat ramah dengan dibangun dikijing dan diperindah agar orang yang melewati kuburan menjadi lebih tenang dan tidak takut. Bahkan ada juga yang mengecat kuburan dengan beraneka warna, hingga kuburan yang awalnya menyeramkan, justru dipandang sebagai objek seni yang indah. Lantas bagaimana syariat menyikapi realitas tersebut? Rasulullah pernah bersabda dalam salah satu haditsnya مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ “Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yang paling menakutkan” HR. Ahmad. Berdasarkan hadits tersebut, kuburan sejatinya memang dicirikan sebagai tempat yang menyeramkan. Hal ini tak lain ditujukan agar orang yang melihat dan menziarahi kuburan dapat mengambil iktibar dari keadaan orang yang telah meninggal, sehingga ia semakin bertambah ketakwaannya dan semakin mempersiapkan bekal dalam menghadapi kematian. Tidak heran jika Rasulullah melarang membangun kuburan dan memperindahnya dengan diplester. Dalam hadits dijelaskan ﻧﻬﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺠﺼﺺ اﻟﻘﺒﺮ، ﻭﺃﻥ ﻳﻘﻌﺪ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﺃﻥ ﻳﺒﻨﻰ ﻋﻠﻴﻪ» “Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang untuk memplester kuburan, duduk di atasnya dan membangun kuburan” HR Muslim. Larangan dalam membangun kuburan jawa mengijing ini oleh para ulama diarahkan pada hukum makruh ketika tidak ada hajat dan jenazah dikuburkan di tanah milik pribadi. Berbeda halnya jika mayit dikuburkan di pemakaman umum, maka hukum membangun kuburan adalah haram dan wajib untuk membongkar bangunan tersebut, sebab akan berdampak pada memonopoli tanah yang sebenarnya digunakan secara umum. Dalam kitab Fath al-Mu’in dijelaskan وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل. ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه. “Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan” Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal. 219. Di samping itu, kemakruhan membangun kuburan di tanah pribadi ini hanya berlaku ketika tujuan dari membangun bukan untuk menghias tazyin atau mempermegah kuburan. Misal karena bertujuan menandai kuburan satu dengan yang lainnya, atau tidak bertujuan apa-apa, hanya sebatas ingin membangun saja. Jika tujuan dari membangun adalah menghias dan memegahkan kuburan, maka hukum membangun ini meningkat menjadi haram. Seperti yang disampaikan dalam kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah يكره أن يبنى على القبر بيت أو قبة أو مدرسة أو مسجد أو حيطان - إذا لم يقصد بها الزينة والتفاخر وإلا كان ذلك حراما “Makruh membangun pada kuburan sebuah ruang, kubah, sekolah, masjid, atau tembok, ketika tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan, jika karena tujuan tersebut, maka membangun pada makam dihukumi haram” Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 536. Perincian hukum membangun pada kuburan di atas, dikecualikan ketika mayit adalah orang yang shaleh, ulama atau dikenal sebagai wali kekasih Allah, maka boleh makam tersebut diabadikan dengan dibangun agar orang-orang dapat berziarah dan bertabarruk pada makam tersebut. Meskipun makam orang soleh ini berada di pemakaman umum. Dalam Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin ﻗﺒﻮﺭ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻘبﺔ ﻹﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎﺭﺓ ﻭاﻟﺘﺒﺮﻙ. ﻗﺎﻝ اﻟﺤﻠﺒﻲ ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﻣﺴﺒﻠﺔ، ﻭﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ “Makam para ulama boleh dibangun meskipun dengan kubah, untuk menghidupkan ziarah dan mencari berkah. Al-Halabi berkata Meskipun di lahan umum”, dan ia memfatwakan hal itu Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137. Alasan di balik pelarangan membangun kuburan ini adalah karena dalam membangun kuburan terdapat unsur menghias kuburan atau mempermewah kuburan. Selain itu, menurut Imam al-Qulyubi, membangun kuburan merupakan bentuk menghambur-hamburkan harta tanpa adanya tujuan yang dibenarkan oleh Syara’, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah Umairah ﻗﺎﻝ اﻷﺋﻤﺔ ﻭﺣﻜﻤﺔ اﻟﻨﻬﻲ اﻟﺘﺰﻳﻴﻦ ﺃﻗﻮﻝ ﻭﺇﺿﺎﻋﺔ اﻟﻤﺎﻝ ﻟﻐﻴﺮ ﻏﺮﺽ ﺷﺮﻋﻲ “Para ulama berkata, Hikmah alasan larangan membangun kuburan adalah menghias.’ Saya Umairah katakana, Juga karena menghamburkan harta tanpa tujuan yang dibenarkan syari’at’,” Ahmad al-Barlasi al-Umairah, Hasyiyah Umairah, juz 1, hal. 441. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membangun kuburan mengijing hukum asalnya adalah makruh ketika dibangun di tanah pribadi, selama tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan kuburan. Sedangkan jika kuburan berada di tanah milik umum, maka hukum membangunnya adalah haram dan wajib untuk dibongkar. Perincian hukum ini, dikecualikan ketika makam tersebut adalah makam ulama atau orang yang saleh, maka boleh dan tidak makruh membangun makam tersebut agar dapat diziarahi oleh khalayak umum. Setelah mengetahui perincian hukum tersebut, alangkah baiknya tatkala kita melihat salah satu makam keluarga kita yang berada di pemakaman umum bukan tanah pribadi dan masih saja di bangun dikijing, agar secara sukarela membongkarnya demi kemaslahatan bersama. Sebab pemakaman umum berlaku untuk masyarakat secara umum, bukan monopoli perseorangan, apalagi sampai mengurangi kapasitas pemakaman masyarakat setempat karena banyaknya kuburan yang dibangun. Namun dalam penerapan hal demikian pada kuburan orang lain yang bukan keluarga kita, alangkah baiknya jika hukum demikian disampaikan secara santun dan bijaksana, sebab hal ini merupakan persoalan yang sensitif. Apabila dirasa ketika hukum demikian disampaikan kepada orang lain dan diyakini menyebabkan perpecahan dan kemudaratan yang lebih besar daripada maslahat yang ada, maka lebih baik tidak disampaikan, dengan tetap berusaha mengupayakan cara yang lebih baik. Wallahu a’lam. Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Membangunbangunan di atas kubur berubah menjadi sebuah terma dikarenakan proposisi pembahasan-pembahasan fikih, teologi, dan sejarah tentangnya.Terma ini mencakup segala bentuk pembangunan di atas kubur, seperti kubah, "dharih", haram, masjid, dan bahkan menurut sebagian orang, meletakkan batu di sekitar kuburan.Terma bangunan di atas kuburan juga mencakup bangunan yang ada sebelum penguburan.
Fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin BaazFatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al UtsaiminFatwa Syaikh Abdul Aziz Bin BaazSoalSaya amati di tempat kami sebagian kuburan disemen dengan ukuran panjang sekitar 1 m dan lebar 1/2 meter. Kemudian pada bagian atasnya ditulis nama mayit, tanggal wafat, dan terkadang ditulis juga kalimat seperti “Ya Allah rahmatilah Fulan bin Fulan…”, demikian. Apa hukum perbuatan seperti ini?JawabKuburan tidak boleh dibangun, baik dengan semen cor ataupun yang lainnya, demikian juga tidak boleh menulisinya. Karena ada hadist yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang melarang membangun kuburan dan menulisinya. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari hadits Jabir radhiallahu’anhu, beliau berkataنَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kuburan dikapur, diduduki, dan dibangun”At Tirmidzi dan ulama hadits yang lain juga meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang shahih, namun dengan lafadz tambahanوَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ“dan juga dilarang ditulisi”Karena hal itu termasuk bentuk sikap ghuluw berlebih-lebihan, sehingga wajib itu, menulis kuburan juga beresiko menimbulkan dampak atau konsekuensi berupa sikap ghuluw berlebihan dan sikap-sikap lain yang dilarang syar’iat. Yang dibolehkan adalah mengembalikan tanah galian lubang kubur ke tempatnya lalu ditinggikan sekitar satu jengkal sehingga orang-orang tahu bahwa di situ ada kuburan. Inilah yang sesuai sunnah dalam masalah kuburan yang dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya radhiallahu’ boleh pula menjadikan kuburan sebagai masjid tempat ibadah, tidak boleh pula menaunginya, ataupun membuat kubah di atasnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid tempat ibadah” Muttafaqun alaihiJuga berdasarkan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya dari sahabat Jundub bin Abdillah Al Bajali radhiallahu’anhu, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika lima hari sebelum hari beliau meninggal, beliau bersabda إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil kekasih-Nya sebagaimana Ia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku menjadikan seseorang dari umatku sebagai kekasihku, maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi dan orang shalih diantara mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid tempat ibadah, karena sungguh aku melarang kalian melakukan hal itu”Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangatlah memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan taufiq kepada muslimin agar senantiasa berpegang teguh dengan Sunnah Nabi mereka Shallallahu’alaihi Wasallam dan tegar di atasnya, serta senantiasa diperingatkan dari segala ajaran yang menyelisihinya. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Wassalamu’alaikum Warahmatullah Syaikh Muhammad bin Shalih Al UtsaiminSoalApa hukum membangun kuburan?JawabMembangun kuburan hukumnya haram. Ini telah dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, karena dalam perbuatan ini ada unsur pengagungan terhadap ahlul qubur si mayit. Perbuatan ini juga merupakan wasilah dan perantara yang membawa kepada penyembahan kuburan tersebut. Sehingga nantinya kuburan tersebut menjadi sesembahan selain Allah. Realita ini sudah banyak terjadi pada bangunan-bangunan kuburan yang sudah ada, dan akhirnya orang-orang berbuat syirik terhadap si mayit penghuni kubur tersebut. Mereka jadi berdoa kepada si mayit selain juga berdoa kepada Allah. Berdoa kepada mayit penghuni kuburan dan ber-istighatsah kepadanya untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan adalah bentuk syirik akbar dan pelakunya terancam keluar dari Yulian PurnamaArtikel Hukummakruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah Bangunan adalah struktur yang sengaja dibuat oleh manusia, bangunan biasanya terdiri dari 2 bagian penting yaitu dinding dan atap berikut bagian pondasi. Namun pernahkah Anda bertanya apa hukum membangun bangunan diatas kuburan? Boleh atau tidak. Nah pada segmen kali ini kita akan membahas tema ini. Bangunan biasanya disebut dengan nama rumah atau gedung, yaitu segala sarana, prasarana dan setiap infrastruktur dari kebudayaan manusia sebagai bentuk fisik dari kebudayaan manusia yang berusaha mereka bangun. Dari segi lain, bangunan memiliki banyak ukuran, bentuk, fungsi dan mengalami berbagai macam penyesuaian sepanjang sejarah yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti jenis bahan bangunan, kondisi cuaca, kondisi tanah, harga serta faktor estetikanya dan jasa kontraktor jogja siap menerima konsultasi berkaitan dengan itu. Bangunan memiliki banyak kegunaan bagi kehidupan manusia, terlebih sebagai tempat untuk berlindung, bernaung untuk mencari keamanan dari kondisi luar rumah, misalnya cuaca, hewan atau bahkan manusia. Karena itu rasa aman dan nyaman dikaitkan dengan rumah. Kuburan, sumber Karena berkaitan dengan peradaban manusia, bangunan menjadi bagian yang sengat vital dalam kehidupan ini. Untuk itu memahami hakikat bangunan baik dari segi fisik maupun pemanfaatannya menjadi penting bagi umat manusia. Terkhusus lagi buat kaum muslimin yang setiap aktifitas hariannya selalu terikat dengan halal dan haram. Islam memandang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, baik manusia maupun kehidupan masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Khusus untuk manusia, Allah bebankan beban hukum kepadanya berupa perintah dan larangan. Perintah dan larangan ini menjadi indikasi seberapa taqwa seorang hamba kepada Allah sang pencipta dengan melihat seberapa tunduk dan taatnya manusia padanya. Membangun rumah diatas kuburan juga tidak lepas dari cakupan halal-haram. Untuk itu mengetahui hukum syara’ terkait dengan semua aktifitas yang dilakukan adalah sebuah kewajiban yang tak bisa dihindarkan. Sebab sebuah kaidah syara’ mengatakan ” Hukum asal perbuatan manusia itu terikat dengan hukum syariah”. Baik di Indonesia maupun di wilayah lain, banyak dijumpai pekuburan yang di atasnya dipenuhi dengan bangunan atau keramik. Nah, sebelum terlanjur Anda membangun sesuatu, ada baiknya mengetahui hukum syariat mengenai hal ini. Membangun bangunan diatas kuburan, sumber Dari Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Al-Alawi Al-Husaini dalam tanya sebuah forum tanya jawab mengatakan, ” melekatkan atau menyemen kuburan makruh hukumnya menurut pendapat mayoritas ulama” Imam Abu Hanifah mengatakan, ” melekatkan atau menyemen kuburan itu tudak dimakruhkan dan dalam agama tidak dijumpai dalil keharamannya. Adapun hadis tentang larangan melepa, mendirikan bangunan dan duduk diatas kuburan menurut ittifaq ulama tidak menunjukan keharaman tapi hanya bersifat karahah. Lantas, apakah kegiatan menyemen kuburan atau membangun bangunan di atasnya yang dilakukan di berbagai negara hanya untuk mainan? Kegiatan membangun sesuatu diatas kuburan bukanlah semata untuk mainan dan hiasan, tapi dilakukan untuk tujuan yang baik dan maslahat. Membangun sesuatu diatas kuburan dengan bentuk tertentu dalam budaya tertentu menjadi sebuah penanda bahwa area itu adalah kuburan, sehingga dapat dihidupkan melalui ziarah dan terpelihara dari penghinaan. Mencegah orang-orang menggalinya kembali sebelum jasad hancur. Sebab menggali makam sebelum jasadnya hancur haram hukumnya. Kemudian, dengan itu juga dapatk mengumpulkan sanak kerabat disekitarnya, sebagaimana yang telah disunnahkan dalam hadits Nabi. إنه صلى الله عليه و سلم وضع على قبر عثمان بن مظعون صخرة وقال أعلم على قبر أخى لأذفن إليه من مات من أقاربي “Sesungguhnya Nabi SAW meletakkan batu besar di atas kuburan Utsman bin Mazh’un dan bersabda “Saya memberi tanda di atas kuburan saudara saya, supaya saya dapat mengubur kerabat-kerabat saya yang meninggal dunia.” HR Abu Dawud dan al-Baihaqi Adapun mendirikan bangunan selain sebagai penanda kuburan, maka hukumnya ditafsihil. Jika kuburan itu tanah milik pribadi atau milik orang lain dengan seatas izinnya, maka hukumnya makruh dan tidak haram. Baik bangunan tersebut berupa cungkup atau lainnya. Jika kuburan itu berbentuk tanah waqaf yang difungsikan untuk kuburan orang umum, maka hukum dari mendirikan bangunan diatas kuburan adalah haram. Ilustrasi tanah waqaf, sumber Sebab keharamannya adalah untuk menghindari kesulitan penguburan dan meminimalisir terjadinya penyempitan. Sebagian ulama ada yang mengecualikan kuburan orang-orang saleh dan imam-imam kaum muslinmin, jika demikian maka boleh mendirikan bangunan diatas kuburan mereka, sekalipun berada diatas tanah umum. Sementara Buya Yahya Zainul Ma’arif Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah di dalam satu kesempatan berpendapat bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan terjadi khilaf besar. Adapun jika mendirikan bangunan persis di atas kuburan itu dibolehkan atau haram. Ada juga sebagian ulama yang berpendapat jika kuburan diberikan tembok itu diharamkan. Namun, ulama aswaja mengatakan yang diharamkan membuat bangunan di atas kuburan yaitu yang haram untuk diinjak, selain itu dibolehkan. Pada poin pentingnya adalah bahasan mengenai hukum membangun bangunan diatas kuburan itu menjadi khilaf para ulama. Paling tidak ini masuk pada bab kemakruhan. Di dalam riwayatnya memang dilarang untuk menyemen apabila di tanah waqaf. Maksudnya tidak perlu disemen sedemikian rupa sehingga tampak kemegahannya, yang wajar saja. Kemudian beliau berwasiat ” Makanya saya berwasiat, semoga panjang umur, jika saya nanti wafat cukup dibuatkan Nisan dua saja. Itu sebagai tanda bahwa ini loh saya sudah wafat”. Alhamdulillah, dari beberapa uraian di atas dapat kita tarik benang merahnya setidaknya ada 2 pendapat. Pertama humum membangun bangunan diatas kuburan itu makruh dan yang kedua hukumnya adalah haram. Wallahu wa Rasulu A’lam. Untuk menambah wawasan keislaman Anda, kam rekomendasikan untuk juga membaca hukum mengirimkan Al-quran melalui ekspedisi atau membaca tulisan berjudul hukum menjualbelikan bayi ini. Semoga bermanfaat. Dewasaini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global. Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi'i yang sudah mapan./ Publikasi Jum'at, 24 Oktober 2008 1514 Dari Jabir bin Abdillah ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menyemen kubur, duduk di atasnya dan mendirikan bangunan di atasnya,” HR Muslim [970]. Kandungan Bab Hadits ini merupakan dalil haramnya mendirikan bangunan di atas kubur, menyemen dan duduk di atasnya. Ibnu Hazm berkata dalam kitab al-Muhallaa V/33, “Dilarang membangun kubur atau menyemennya dan dilarang pula menambah-nambahi sesuatu selain dari tanah bekas galiannya. Semua tambahan itu harus dirubuhkan diratakan.” Berdasarkan Sunnah Nabi, kubur yang tinggi harus dirubuhkan dan diratakan. Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata, “Ketahuilah, aku akan mengutusmu untuk sebuah tugas yang dahulu pernah Rasulullah tugaskan kepadaku, yaitu janganlah biarkan patung kecuali engkau menghancurkan dan janganlah biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan!” HR Muslim 969. Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar IV/131, “Dalam hadits disebutkan bahwa menurut Sunnah Nabi kubur tidak boleh ditinggikan terlalu tinggi, tanpa ada beda antara kubur orang yang terpandang dengan yang lainnya. Zhahirnya, meninggikan kubur lebih dari kadar yang dibolehkan hukumnya haram. Demikianlah yang telah ditegaskan oleh rekan-rekan imam Ahmad dan beberapa orang rekan Imam asy-Syafi’i dan Malik. Pendapat yang mengatakan bahwa meninggikan kubur tidaklah terlarang karena telah dilakukan oleh kaum Salaf dan Khalaf tanpa ada pengingkaran seperti yang diutarakan oleh Imam Yahya dan al-Mahdi dalam kitab al-Ghaits adalah pendapat yang tidak benar! Paling minimal dikatakan bahwa mereka mendiamkannya. Dan diam bukanlah dalil dalam perkara-perkara zhanniyah, dan pengharaman meninggikan kubur termasuk zhanniyah. Termasuk meninggikan kubur yang dilarang dalam hadits adalah membuat kubah-kubah dan masyhad bangunan di atas kubur. Dan juga hal itu termasuk menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid tempat peribadatan. Rasulullah saw. telah melaknat orang-orang yang melakukannya. Berapa banyak kerusakan-kerusakan yang timbul akibat membangun kubur dan menghiasnya? kafir terhadap berhala-berhala mereka. Bahkan lebih parah lagi mereka beranggapan kubur-kubur itu mampu membawa manfaat dan menolak mudharat, mereka jadikan tujuan untuk meminta hajat, tempat bersandar dalam meraih kesuksesan, mereka meminta kepadanya seperti seorang hamba meminta kepada Rabb-nya, mereka mengadakan perjalanan untuk mencapainya, mengusap-usap dan memohon perlindungan kepadanya. Secara keseluruhan tidak satu pun perkara yang dilakukan oleh kaum Jahiliyyah terhadap berhala-berhala mereka melainkan para penyembah kubur itu juga melakukannya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Meskipun kemungkaran dan kekufuran ini sangat keji dan parah namun tidak kami dapati orang yang marah karena Allah dan tergerak untuk melindungi agama yang hanif ini. Baik orang alim, kaum pelajar, amir, wazir atau raja! Bahkan menurut banyak berita yang sampai kepada kami yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya, bahwa kebanyakan diri para penyembah kubur atau bahkan mayoritas mereka apabila dihadapkan kepada sumpah dari pihak yang berseberangan dengan mereka, maka tanpa segan mereka bersumpah demi Allah secara keji. Kemudian apabila dikatakan kepadanya setelah itu Bersumpahlah atas nama Syaikh atau wali Fulan, maka ia bimbang, menahan diri dan menolak lalu mengakui kebenaran. Ini merupakan dalil nyata yang menunjukkan kemusyrikan mereka melebihi kemusyrikan orang-orang yang mengatakan Tuhan itu satu dair dua oknum atau tuhan itu satu dari tiga oknum! Wahai ulama syari’at, wahai raja-raja kaum Muslimin, musibah apakah yang lebih besar bagi Islam selain kekufuran! Bala apakah yang lebih mudharat bagi agama selain penyembah kepada selain Allah! Adakah maksiat yang menimpa kaum Muslimin yang menyamai maksiat ini?! Kemungkaran manakan lagi yang lebih wajib diingkari selain kemunkaran syirik yang nyata ini!? Andaikata yang engkau minta itu hidup Niscaya permintaanmu telah sampai kepadanya Namun tiada kehidupan bagi orang yang engkau minta Sekiranya memang api, niscaya akan hidup bila dihembus Namun sayang, ternyata engkau menghembus pasir bukan api Apa hukumnya memplester kubur dengan tanah semacam gundukan? Guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, menjelaskannya dalam kitab Ahkaamu Janaa-iz, hal. 205-206, “Dalam masalah ini ada dua pendapat ulama Pertama Hukumnya makruh, demikian ditegaskan oleh Imam Muhammad -sahabat Abu Hanifah-. Makruh dalam pengertian mereka adalah haram apabila disebutkan secara mutlak. Pendapat ini juga dipilih oleh Abu Ja’far dari ulama Hambali seperti yang disebutkan dalam kitab al-Inshaaf II/549. Kedua Tidak mengapa atau boleh. Pendapat ini dinukil oleh Abu Dawud [158] dari Imam Ahmad dan ditegaskan pula dalam kitab al-Inshaaf. Imam at-Tirmidzi [II/155] menukil pendapat ini dari asy-Syafi’i. an-Nawawi mengomentarinya, “Pendapat beliau Imam asy-Syafi’i tidak dikomentari oleh sahabat-sahabat beliau. Maka pendapat yang benar adalah hukumnya tidak makruh seperti yang beliau tegaskan karena tidak ada dalil larangannya.” Saya -yakni Syaikh al-Albani- katakan, “Barangkali pendapat yang benar adalah menurut perincian berikut ini Apabila tujuan membuatnya untuk menjaga kubur dan agar kubur tetap tinggi menurut kadar yang diizinkan syariat atau agar tidak hilang tanda-tanda kubur bila diterpa angin atau agar tidak merusak bila ditimpa hujan, tentu saja hal itu boleh tanpa adanya keraguar. Karena akan terwujud salah satu tujuan syariat, barangkali inilah salah satu bentuk alasan bagi para ulama Hambali yang mengatakan mustahab. Namun apabila tujuannya untuk mempercantik atau sejenisnya yang tidak ada faidahnya maka hukumnya tidak boleh karena hal itu adalah bid’ah.” Sumber Diadaptasi dari Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari Pustaka Imam Syafi’i, 2006, hlm. 1/601-602. Post Views 56 Terakhir diperbaru Jum'at, 24 Oktober 2008 1514, Dalam Jenazah
Berdasarkanbeberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa memasang kain di batu nisan atau membuat kubah di kuburan, khususnya pada makan para wali, tidak dilarang. Apalagi cungkup tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk membaca al-Qur'an, berdzikir dan berdo'a kepada Allah SWT. Tentu semua itu sangat dianjurkan. Membangun masjid di atas kuburan merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perhatian serius oleh setiap Muslim. Masalah ini perlu dikaji berdasarkan keterangan para Ahli Ilmu. Tujuannya agar setiap Muslim terhindar dari terjerumus dalam suatu perbuatan yang dibenci oleh syariat Islam. Sementara, karena ketidak tahuannya, seseorang merasa perbuatan itu lumrah saja dilakukan. Untuk itulah tulisan ini dihadirkan untuk menerangkan persoalan membangun masjid di atas kuburan berdasarkan penjelasan para ahli ilmu. Daftar IsiPengertian Menjadikan Kuburan Sebagai MasjidHukum Membangun Masjid di atas Kuburan1. Pendapat pertama2. Pendapat keduaLandasan Hukum Masing-Masing PendapatA. Mereka yang mengikuti pendapat pertama beralasan dengan dalil-dalil yang di antaranya adalahB. Untuk mereka yang berpegang kepada pendapat kedua, Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq tidak menemukan dalil selain yang telah disebutkan. Dimungkinkan mereka membawa apa-apa yang telah disebutkan kepada hukum yang Rajih Tentang Hukum Membangun Masjid di Atas KuburanBagaimana dengan Kuburan Nabi di Masjid Nabawi?Jawaban Tentang Kuburan Nabi di Masjid Nabawi Sumber Pengertian Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid Yang mungkin dipahami dari maksud menjadikan kuburan sebagai masjid adalah tiga makna berikut ini Shalat di atas kuburan dalam arti sujud di atasnya. Sujud ke arahnya dan menghadap kepadanya dengan shalat dan berdoa. Membangun masjid-masjid di atas kuburan dan bertujuan shalat di dalamnya. Masing-masing dari makna ini merupakan pendapat sekelompok ulama. Dan pada masing-masing makna tersebut terdapat nash-nash yang jelas dari pemimpin para Nabi ﷺ. [1] Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang hukum membangun masjid di atas kuburan, sehingga muncul dua pendapat, yaitu 1. Pendapat pertama Bahwa membangun masjid di atas kuburan haram hukumnya. Ini adalah pendapat para pengikut mazhab Hanbali [Lihat lbnu Abdul Barr, Al-Kafi, 1/470; Al-Bahuti, Kasysyaf … 2/141 dan Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir 1/579] Dan diungkapkan oleh para pengikut mazhab Hanafi [Lihat Al-Fatawa Al-Al Amkiriah yang terhimpun dalam Al Fatawa Al-Hindiah, 1/166] bahwa hukumnya makruh yang konsekuensinya adalah pengharaman. Namun, Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq mengatakan,’Konsekuensi makruh di sini adalah harus bersifat pengharaman. Karena pada prinsipnya, makruh itu jika diucapkan oleh para pengikut mazhab Hanafi, yang dimaksud adalah pengharaman. Sebagaimana dengan tegas hal itu ditulis lbnu Abidin dalam hasyiyahnya. Sebagaimana dapat dipahami pula dari jenis dalil-dalil yang muncul berkenaan dengan masalah ini sebagaimana diisyaratkan oleh lbnu Abidin pula.” Lihat lbnu Abidin, ibid., 1/405 2. Pendapat kedua Perbuatan tersebut makruh hukumnya. lni adalah pendapat para pengikut mazhab Syafi’i. [Lihat Asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab, dan An-Nawawi, Al-Majmu’ Keduanya dicetak dalam satu jilid, 5/316.] Kebanyakan pemakaian lafazh makruh’ oleh Asy Syaf’i Rahimahullah dan para sahabatnya dimaksudkan adalah makruh yang wajib dijauhi. An-Nawawi rahimahullah sebelum masalah ini ketika memaparkan pembahasan tentang duduk di atas kuburan dan mendiskusikan dengan mereka yang mengharamkannya, berkata ”Namun, ungkapan Asy-Syafi’i dalam kitabnya, Al Umm, dan semua sahabat seiring sejalan, seluruhnya membenci duduk di atas kuburan, dan makruh menurutnya adalah makruh yang wajib ditinggalkan, sebagaimana masyhur pula dalam pemakaian oleh para ahli hadits.” An-Nawawi, 5/312. rahimahullah dalam hal ini berkata, “Semua nash dari Syafi’i dan kawan – kawan selalu sejalan dan semuanya menunjukkan bahwa makruh hukumnya membangun masjid di atas kuburan, baik si mayit adalah orang yang sangat terkenal kebaikannya dan lain-lain karena makna umum hadits itu. [Al-Majmu’ 5/316] Jadi ia telah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan. [Lihat Fatawa An-Nawawi, hlm. 46.] Sumber Landasan Hukum Masing-Masing Pendapat A. Mereka yang mengikuti pendapat pertama beralasan dengan dalil-dalil yang di antaranya adalah 1. Apa yang datang dari Aisyah dan lbnu Abbas Radhiyallahu anhuma keduanya berkata Ketika ia Ibnu Abbas berkunjung kepada Rasulullah ﷺ, beliau melemparkan baju tebal beliau ke wajah lbnu Abbas. Ketika telah sesak napasnya, beliau membuka wajahnya dan bersabda, Demikian ini pula laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid’.” Dan beliau memperingatkan dengan keras atas apa yang mereka perbuat. [Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Masajid, Bab “Ash-shalat fii Al-Bi’ah”, hadits no. 425, 1/168; dan Shahih Muslim, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’u Ash-shalat, Bab “An-Nahyu an Binaai Al-Masajid ala Al-Qubur,” hadits no. 531, 1/315] Aspek yang menjadi objek penunjukan hadits ini adalah bahwa Rasulullah ﷺ melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena perbuatan mereka tersebut sehingga hadits ini menunjukkan keharamannya. Jika perbuatan tersebut mubah hukumnya tentu Nabi ﷺ tidak melaknat para pelakunya. [Lihat Al-Maqdisi, Asy-Syarh At-Kabir… op’cit, 1/579] 2. Apa yang datang dari Aisyah bahwa Ummu salamah menyebutkan di hadapan Rasulullah ﷺ tentang sebuah gereja yang dilihatnya di negeri Habasyah bernama Maria’. la menyebutkan kepada beliau tentang segala yang ia lihat di dalamnya berupa gambar – gambar. Maka Rasulullah ﷺ bersabda “Mereka adalah suatu kaum yang jika ada di kalangan mereka seorang hamba yang shalih atau pria yang shalih meninggal dunia, mereka membangun di atas kuburnya sebuah masjid dan mereka menggambar gambar-gambar itu di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah.” [Shahih Al-Bukhari, Kitab Al – Masajid, Bab Ash-Shalat fii Al-Bi’ah, hadits no. 424, 1/167] Hadits ini jelas menunjukkan larangan atas perbuatan semacam ini. 3. Apa yang telah datang dari Jundub Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ lima malam sebelum beliau wafat bersabda “Sesungguhnya aku berlepas diri dan kembali kepada Allah jika aku memiliki kekasih dari antara kalian. Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai kekasih sebagaimana Allah telah menjadikan lbrahim sebagai kekasih. Jika aku diperbolehkan untuk menentukan kekasih di antara kaumku, tentu kujadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka menjadi masjid-masjid. Ketahuilah, janganlah kalian semua menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian semua dari perbuatan itu.” [Shahih Muslim, Kitab Al-Masajid wa Mawadhi’i Ash-Shalat, Bab An-Nahyu an Binaai Al-Masajid ala Al-Qubur…”, hadits no. 528, 1/314] Hadits ini adalah salah satu hadits yang paling gamblang menerangkan larangan tentang permasalahan tersebut. Dalam hadits itu Rasulullah ﷺ secara gamblang melarang perbuatan tersebut. Larangan beliau yang demikian itu berkonotasi pengharaman. 4. Apa yang datang dari lbnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ bersabda “Allah melaknat para wania peziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan di atas kuburan masjid-masjid dan lanpu-lampu.” [Sunan Abu Dawud, Kitab Al-Janaiz, Bab “Fii Ziyarati An-Nisa Al-Qubur, hadits no. 3236, 3/ 218; Sunan At-Tirmidzi, Kitab Ash-Shalat, Bab “Ma Ja’a fii Karahiyati an Yattakhidza ala Al-Qabri Masjidan’, hadits no. 320, 2/136; Sunan An-Nasa’i, Kitab Al Janaiz, Bab “At-Taghlizh fii Ittikhadzi As-Sarji ala Al-Qubur,’ hadits no. 2042, 4/ 400; Sunan lbnu Majah, Kitab Al-Janaiz, Bab Ma Ja’a fii An-Nahyi an Ziyarati An-Nisa Al-Qubur’, hadits no. 1575, 1/502. Lafazhnya zawwarat para wanita penziarah. At-Tirmidzi berkata, “Hadits lbnu Abbas adalah hadits hasan”. Lihat Sunan At-Tirmidzi 2/137.] B. Untuk mereka yang berpegang kepada pendapat kedua, Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq tidak menemukan dalil selain yang telah disebutkan. Dimungkinkan mereka membawa apa-apa yang telah disebutkan kepada hukum makruh. Sumber Pendapat yang Rajih Tentang Hukum Membangun Masjid di Atas Kuburan Pendapat yang paling kuat -Wallahu Ta’ala A’lam- adalah pendapat pertama, bahkan pendapat itulah yang akan segera muncul di benak orang yang mempelajari dalil-dalil yang berkenaan dengan permasalahan ini. Demikian pula orang yang memiliki kelebihan kemampuan untuk memahami hikmah syariat yang menetapkan penutupan celah-celah kesyirikan dan kesesatan. Tidak diragukan lagi bahwa pembangunan masjid-masjid di atas kuburan merupakan sarana terbesar yang mengantarkan kepada tindakan mengkultuskan orang-orang yang telah meninggal, mengagungkannya dan pada gilirannya menimbulkan fitnah karenanya. Pemahaman ini diperkuat oleh akal sehat dan kenyataan sejarah di tengah-tengah umat-umat terdahulu sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Nabi ﷺ. Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata, Aku sangat membenci pengagungan makhluk hingga menjadikan kuburnya sebagai masjid karena khawatir fitnah atas dirinya dan orang-orang setelahnya.” [Al-Majmu'5/314 dengan makna yang sama dalam kitab Al-Umm, 1/317][ii] Demikian ringkasan dari keterangan Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq dalam buku Tasyabuh yang Dilarang dalam Fikih Islam edisi terjemah mengenai hukum membangun masjid di atas kuburan. Hal ini juga berlaku untuk musholla. Karena tidak ada perbedaan antara masjid dan mushola. Bagaimana dengan Kuburan Nabi di Masjid Nabawi? Bagaimana Memberikan Jawaban kepada Para Penyembah Kuburan Seputar Klaim Dikuburkannya Nabi ﷺ di dalam Masjid Nabawi? Apakah ini bagian dari keutamaan Masjid Nabawi? Kuburan Nabi di dalam Masjid Nabawi. Sumber Jawaban Tentang Kuburan Nabi di Masjid Nabawi Jawabannya dari beberapa aspek Bahwa masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan akan tetapi ia sudah dibangun semasa Nabi ﷺ masih hidup. Bahwa Nabi ﷺ tidak dikuburkan di dalam Masjid sehingga bisa dikatakan bahwa ini adalah sarna artinya dengan penguburan orang-orang shalih di dalam masjid’, akan tetapi beliau ﷺ dikuburkan di rumahnya. rumahnya berdampingan dengan masjid sebab sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang shahih bahwa para Nabi dikuburkan di tempat di mana mereka wafat-penj.. Bahwa melokalisir rumah Rasulullah ﷺ juga rumah Aisyah sehingga menyatu dengan masjid bukanlah berdasarkan kesepakatan para sahabat akan tetapi hal itu terjadi setelah mayoritas mereka sudah wafat, yaitu sekitar tahun 94 H. Jadi, ia bukanlah atas dasar pembolehan dari para sahabat semuanya, akan tetapi sebagian mereka ada yang menentang hal itu, di antara mereka yang menentang tersebut terdapat pula Said bin al-Musayyib dari kalangan Tabi’in. Bahwa kuburan Nabi tersebut tidak terletak di dalam masjid bahkan telah dilokalisir, karena ia berada di dalam bilik tersendiri yang terpisah dari masjid. Jadi, masjid tersebut tidaklah dibangun di atasnya. Oleh Karena itu, di tempat ini dibuat penjagaan dan dipagari dengan tiga buah dinding. Dan, dinding ini diletakkan pada sisi yang melenceng dari arah kiblat alias berbentuk segitiga. Sudut ini berada di sisi utara sehingga seseorang yang melakukan shalat tidak dapat menghadap ke arahnya karena ia berada pada posisi melenceng dari arah kiblat. Dengan demikian, gugurlah argumentasi para budak penyembah kuburan tersebut . Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh lbnu Utsaimin Juz ll, Mengenai Hadits yang disebutkan oleh penerjemah fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah di atas, redaksinya adalah sebagai berikut Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Ketika Rasulullah ﷺ meninggal, para sahabat berselisih dalam hal pemakamannya. Maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, Aku telah mendengar dari Rasulullah ﷺ satu hadits yang tidak akan kulupakan. Beliau bersabda ماَ قَبَضَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيْهِ, فَدَفَنُوْهُ فيِ مَوْضِعِ فِرَاشِهِ. “Tidaklah Allah mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang Allah sukai sebagai tempat pemakamannya.” Kemudian para Sahabat memakamkannya di tempat tidurnya.” [Hadits Shahih. Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 5649; Sunan at-Tirmidzi II/242, no. 1023]. Referensi Penulisan [i] Lihat situs ini di bawah pengawasan umum Syaikh Alawi Abdul Qadir As Saqqaf. [ii] Lihat Tasyabuh yang Dilarang dalam Fikih Islam, karya Syaikh Jamil bin Habib Al Luwaihiq, Penerbit Pustaka Darul Falah, halaman 311-315. Dengan sedikit perubahan pada format penulisan.. [3] Lihat Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq, Jilid 1, halaman 27-28. CyRI. 38 256 279 363 76 207 132 349 312